Bersama Kita Membangun Bonapasogit

Senin, 09 Juni 2008

"Haram" Hukumnya Menerima CSR dari Korporat Yang Merusak Lingkungan dan Melanggar Hak Asasi Manusia


Seperti biasa, setiap Rabu, para petani dari berbagai kelompok dan desa di wilayah Toba Samosir berkumpul dan berdiskusi di Sopo (kantor) KSPPM wilayah Porsea, setelah atau sebelum masing-masing mereka sibuk berjualan dan berbelanja.

Pada suatu Rabu di pertengahan tahun 2004, kegaduhan terjadi. Diskusi yang biasanya berlangsung akrab dan penuh keakraban, berubah menegangkan. Ketika itu, muncul berita yang sangat sensitif bagi semuanya: anggota CU Sepakat Jaya, Dolok Martali-tali menerima pupuk dari Indorayon, alias PT TPL.

Beberapa anggota kelompok Sepakat Jaya yang hadir ketika itu ‘disidang’. Mereka dimintai pertanggung-jawaban, kenapa setiap mereka mau menerima 2 zak pupuk dari program community development (CD/comdev) Indorayon. Semua berang. Termasuk staf KSPPM yang hadir pada saat itu. “Masak harga diri kalian bisa dibeli dengan pupuk yang seutil itu?” demikian kira-kira gugatan dan umpatan mereka.

Agak ironis, memang, karena kelompok ini sebenarnya adalah ‘buha baju’ (anak pertama)—kalau bisa diistilahkan demikian—atau kelompok generasi pertama ‘dampingan’ KSPPM. Embrionya sudah terbentuk sejak kasus perlawanan terhadap konstruksi/operasi PT Inalum, proyek berjudul Asahan II, di DAS Asahan, pertengahan 1980-an. Ini jugalah, antara lain, faktor yang membuat anggota kelompok-kelompok lain—sebagai ‘saudara seperguruan’—terpukul. Bagai di dalam alam pikiran setengah sadar.

Singkat cerita, akhirnya kelompok Sepakat Jaya dikeluarkan dari keanggotaan “Forum Tani Rakyat Toba (Fortaba)”—organisasi yang mewadahi semua kelompok dampingan KSPPM di wilayah Toba Samosir hingga saat ini, walaupun mereka mengaku menerima pupuk itu karena ‘tertipu’ oleh distributornya, aparat desa dan kecamatan, yang mengaku sumbernya dari pemerintah daerah. Ringkasnya, mereka tidak dimaafkan. Bahkan, kemudian staff KSPPM pun mengakhiri ‘pendampingan’ ke kelompok itu.

Peristiwa serupa juga terjadi kemudian, seperti di kelompok credit union (CU) Jonggi Manulus, baru-baru ini. Tiga anggota kelompok dikelurkan karena menerima bantuan serupa. Alasan pemecatan itu juga tidak berbeda: kesepakatan Fortaba, yang kemudian dikuatkan dengan surat kesepakatan bersama pada tahun 2007, yang intinya adalah ‘haram’ menerima bantuan Indorayon.Mengapa bisa demikian? Menjawab pertanyaan ini

butuh waktu yang panjang. Ringkasnya, masyarakat—khususnya anggota Fortaba—belum bisa menerima reoperasi Indorayon/TPL dan dosa-dosanya di masa lalu. Bagi mereka, program-program comdev Indorayon hanya ‘manis di bibir’, sebagai upaya untuk melemahkan perlawanan atau ‘uang tutup mulut’. Karena terbukti kemudian, di mana sebagian warga di luar Fortaba juga sudah menerima program-program comdev ini (pupuk, bibit tanaman, ternak, dll), barangkali menjadi salah satu penjelasan kenapa perlawanan terhadap Indorayon melemah belakangan ini. Walaupun, tidak bisa juga dikatakan, perlawanan itu sudah berakhir.

Sebagian masyarakat Toba Samosir juga menyadari bahwa latar belakang munculnya program comdev ini, bukanlah didasari atas kesaradaran akan tanggung jawab sosial atau niat baik Indorayon sejak awal. Jika sekarang mereka getol mengampanyekan paradigma baru, salah satu di dalamnya program CSR/comdev, adalah dalam kaitan menyukseskan reoperasi yang gigih diupayakan sejak pabriknya ditutup sekitar 4 tahun (1998-2002) karena perlawanan masyarakat.

Bukan hanya comdev, pada masa atau situasi keterdesakan itu, bahkan, mereka pun bersedia melakukan berbagai cara yang barangkali bisa dikategorikan sebagai penyuapan. Ini sangat kontras dengan ketidak-acuhan dan kekebalan mereka pada tuntutan masyarakat sekitar di masa pra-reformasi, ketika misalnya ratusan penduduk menuntut penggantian atap rumah atau ganti rugi tanaman akibat hujan asam yang diduga diakibatkan operasi Indorayon. Dengan kata lain, kelahiran comdev/CSR adalah berkat perlawanan masyarakat seiring dengan berlangsungnya gerakan reformasi di Tanah Air.

CSR, Kerusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM

Ketika saat ini Indorayon/TPL sedang mengumbar paradigma baru, justru pada saat bersamaan mereka melakukan perusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia. Di Pollung, Humbang Hasundutan, mereka menebangi pohon kemenyan rakyat dan menguasai lahan atas nama konsesi yang mereka peroleh dari pemerintah. Ketika masyarakat melakukan perlawanan, perusahaan ini selalu menghadapinya dengan aparat sipil dan polisi/TNI, elite politik, pengusaha lokal, politisi, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Tidak cukup hanya menggunduli kemenyan, perusahaan milik Sukanto Tanoto ini juga membuang limbah B3 di tempat-tempat curaman dan daerah aliran sungai, yang mencemari Sungai Ronuan di Tele, yang digunakan penduduk untuk MCK dan irigasi persawahan.

Di daerah tetangga, Dairi, khususnya di Sopo Komil juga demikian. Kehadiran PT Dairi Prima Minerals (1998) yang saat ini memasuki tahap konstruksi perumahan dan infrastruktur juga berdampak lingkungan dan sosial yang kompleks dan problematis. Pertama sekali, kehadiran perusahaan Australia ini menimbulkan keresahan sosial dan potensi konflik horisontal antara dua subetnis Batak di sana, karena saling klaim hak atas tanah. Marga-marga tertentu mengklaim tanah di sana sebagai hak ulayatnya dan membuat marga-marga lain merasa terancam di tanah yang sudah dikelola selama berpuluh tahun dan dimiliki sah secara adat pada masa lampau. Kemudian, ekplorasi yang mereka lakukan juga sudah merusak hutan dan, ironisnya, mereka kelak akan melakukan pembangunan pabrik dan eksploitasi hutan lindung Batu Ardan register 66.

Kenyataan serupa ini juga kita jumpai di hampir seluruh Tanah Air, di mana perusahaan-perusahaan nasional dan multinasional berada, antara lain, PT Freeport Indonesia di Papua, PT Kaltim Prima Coal (pertambangan terbesar batu bara) dan Unocal (minyak) di Kutai Timur, PT Caltex Pacific Indonesia (CPI), PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), dan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) di Riau, dan lain sebagainya. Pascareformasi, mereka semakin getol dan menggelontorkan dana CSR/comdev yang semakin besar dan melibatkan stakeholder yang semakin luas, tetapi di sisi lain tetap saja melakukan pengerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Di Kabupaten Fakfak, Papua, hadirnya PT Freeport Indonesia (1967) yang mengeruk kekayaan bumi (tembaga, emas, uranium) menimbulkan pelanggaran HAM, bukan saja hak-hak ekososbud, tetapi juga hak-hak sipol. Perusahaan pertambangan Amerika ini dengan leluasa mengeruk sumber daya alam dan merusak lingkungan, sedangkan masyarakat terutama suku asli, Amungme, hanya merasakan remah-remahnya dan terusir dari kampung halaman. Mereka tetap berkubang dalam lumpur kemiskinan dan ketertinggalan, sementara kekayaan alamnya dibawa terbang ke negeri Paman Sam. Tuntutan mereka agar mendapat bagian (shareholder) yang adil dari eksploitasi buminya, justeru dijawab dengan politik represi dan popor senapan. Bahkan, ketika mereka mencoba mengais sisa-sisa pertambangan itu di limbah tailing, mereka justeru harus berhadapan dengan pasukan militer yang dibayar untuk menjaga proyek.

Kehadiran PT Freeport yang diduga berhubungan erat dengan bantuan pemerintah AS dalam menumbangkan Orde Lama, juga berdampak buruk terhadap lingkungan. Setiap hari, perusahaan asing pertama di masa kekuasaan Soeharto ini membuang ratusan ribu ton limbah tailingnya ke sungai Ajkwa, mematikan ratusan hektar hutan alam, merembes dan merendam kebun-kebun nelayan Suku Komoro, bahkan menyebar hingga ke laut Arafuru. Aktivitas pertambangan ini juga menyisakan banyaknya lubang-lubang raksasa, yang akan menjadi danau-danau kecil dengan kadar keasaman tinggi.

Sekarang, kita beralih ke Kalimantan. Studi yang dilakukan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, menunjukkan, program CSR yang dilakukan PT Kaltim Prima Coal (pertambangan terbesar batu bara) dan Unocal (minyak) terkesan untuk menghindari konflik dengan masyarakat sekitar. Unocal yang sudah beroperasi sejak tahun 1970-an di daerah Marangkayu, Kutai Timur, baru menjalankan program comdev pada tahun 2002 setelah masyarakat melakukan protes dengan demonstrasi massal. Demonstrasi yang berlangsung dan sulit dikendalikan di sekitar lokasi pengolahan minyak memaksa Unocal untuk melakukan kegiatan-kegiatan filantropis dalam program comdev. Kehadiran Unocal sendiri telah membuat tambak dan lahan pertanian yang merupakan sumber pendapatan penting masyarakat tercemar minyak.

Mulyadi (2004), peneliti PSKK-UGM menyebutkan, walaupun sulit mengidentifikasi kapan perusahaan-perusahaan lain, seperti PT Kaltim Prima Coal (KPC), memulai program CSR. Namun, fakta menunjukkan bahwa mereka merealisasi program-program tersebut secara lebih intensif pada tahun-tahun setelah diberlakukannya otonomi daerah. Kebijakan yang telah memberi kebebasan yang lebih besar kepada masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya. Jeleknya lagi, dalam merealisasikan programnya, Unocal dan KPC menggandeng LSM bentukan pemerintah daerah, Kapital, yang tidak memiliki kapasitas dan sarat dengan kepentingan elite, korupsi, dan realisasi program yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat yang terkena dampak.

Sekarang menuju Riau. Masyarakat Duri yang hidup di daerah operasi CPI mengalami kerugian yang besar dalam bidang kesehatan dan ekonomi. Ekspansi perusahaan minyak terbesar yang berasal dari negeri yang mengaku sebagai kampiun demokrasi dan hak asasi manusia, Amerika Serikat, ini membuat jarak titik-titik pengeboran minyak dengan pemukiman penduduk hanya sekitar 200 meter. Akibatnya, sumur-sumur penduduk menjadi kering dan ketersediaan air minum menjadi kritis. Masyarakat kemudian harus membeli air untuk air minum. Begitu juga dengan usaha kolam ikan, menjadi terancam kekeringan dan menurunkan sumber pendapatan.

Kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak kalah dahsyat juga terjadi atas kehadiran pabrik pulp dan paper skala terbesar dunia di Riau. Kehadiran PT RAPP, saudara kandung Indorayon/TPL, beroperasi sejak tahun 1995 dan kini (sejak 2001) berkapasitas 2 juta ton per tahun (bandingkan dengan PT Toba Pulp Lestari berkapasitas 225.000 ton), juga menyisakan masalah dengan penduduk setempat. Setidaknya 40,000 hektar konsesi yang dimiliki perusahaan, di mana pabrik RAPP kini berada, diklaim penduduk desa Delik, Sering, dan Kerinci sebagai tanah milik mereka. Karena kasus ini beberapa orang penduduk desa dipenjarakan. Kasus serupa juga terjadi di desa Lubuk Jambi di mana sejumlah penduduk desa dilaporkan tertikam hingga meninggal selama protes pada 1998.

Untuk bisa memproduksi pulp sebesar 2.000.000 ton kertas sebanyak 350.000 ton pertahun, RAPP harus menebang kayu sebanyak 9.000.000 juta m3 pertahun. Untuk itu mereka harus memiliki hutan tanaman industri (HTI) minimal seluas 418,665 hektar untuk sekali rotasi (setiap enam tahun). Namun hingga Juni 2006, mereka menyatakan baru memiliki seluas 265.407 hektar, selain penguasaan lahan para mitranya seluas 651.539 hektar. Karena itu, permohonan konsesi baru untuk HTI di Provinsi Riau terus dilakukan. Keseluruhan konsesi yang diajukan merupakan kawasan yang masih berhutan, memiliki potensi kayu alam yang sangat kaya, bahkan merupakan kubah gambut sampai kedalaman 20 meter.

Ironisnya, baru-baru ini, Direktorat Pajak mengungkap dugaan penyelewengan pajak sebesar Rp. 1,3 triliun yang dilakukan Asian Agri, grup perusahaan yang di bawahnya terdiri dari belasan perusahaan (meliputi bisnis cokelat, karet, dan, terutama, kelapa sawit), salah satu anak perusahaan Grup Raja Garuda Mas milik Sukanto Tanoto, pengusaha yang pada tahun 2006 dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia. Akan tetapi, tidak lama kemudian, datang berita dari Ho Chi Minh, Vietnam, salah satu anak perusahaan yang telah mengukuhkannya sebagai industrialis global, RAPP, menerima penghargaan CSR AWARD for Excellency Poverty Alleviation dari Forum Asia.

Secara keseluruhan, industri pulp dan paper di Riau telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap hilangnya 3,7 juta hektar hutan alam Riau selama periode 1982-2005. Diakibatkan berdirinya industri-industri pulp dan paper tanpa didahului pembangunan HTI sebagai sumber bahan baku. Hal tersebut menimbulkan kesenjangan bahan baku sebesar 7.841.147,59 m3, di mana kapasitas total industri perkayuan mencapai 22.685.250 m3 pertahun, sedangkan kemampuan hutan alam untuk berproduksi secara lestari hanya sebesar 14.844.102,41 m3 per tahun.

Terakhir, adalah hasil penelitian terbaru yang dilakukan Walhi terhadap lima perusahaan nasional dan multinasional terhadap PT RAPP, PT DPM, PT Medco E & P Rimau, PT KPC, dan PT Newmont Nusa Tenggara, yang menyimpulkan, antara lain: pertama, konsep dan praktik CSR tidak berkontribusi secara memadai terhadap pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat yang hidup di sekitar kelima perusahaan tambang dan kayu tersebut. CSR digembar-gemborkan begitu rupa pada saat terjadi pelanggaran terhadap hak-hak ekososbud masyarakat dan ketentuan-ketentuan hukum lingkungan. Kedua, dengan menyerahkan urusan pemenuhan hak ekososbud pada korporasi-korporasi itu, pada saat yang sama negara telah melalaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati hak-hak ekososbud masyarakat. Singkatnya, program-program CSR kelima korporasi itu ditengarai sebagai sekadar cosmetic belaka.

Tambahan, di Bangka-Belitung, kehadiran PN Timah yang memiliki dampak yang sangat besar terhadap lingkungan. Kehidupan di pabrik yang serba mewah dan bergaya kolonial sangat kontras dengan kehidupan masyarakat sekitar yang hidup dalam kemiskinan, baik dalam ekonomi, akses pendidikan, dan gaya hidup. Sampai-sampai, keberadaan pabrik ini diumpamakan laksana the Tower of Babel. Hal inilah yang secara impresif dideskripsikan Andrea Hirata, dalam novelnya yang sangat terkenal berjudul Laskar Pelangi.

Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut: pertama, secara umum korporasi-korporasi di Indonesia, baik nasional dan multinasional, sudah mulai melaksanakan program CSR/Comdev, tetapi umumnya setelah mendapat protes atau perlawanan masyarakat sekitarnya.

Kedua, ketika korporasi-korporasi melaksanakan program CSR, pada saat yang sama mereka tidak mengubah karakter bisnisnya: masih merusak lingkungan dan menciderai hak asasi manusia, terutama hak ekososbud dan pada gilirannya menimbulkan pelanggaran hak-hak sipol. Seolah-olah dengan CSR, kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM terkompensasi.

Ketiga, pelaksanaan CSR sebagai upaya penjinakan perlawanan laten dan manifes. Banyak kasus menunjukkan, korporasi melakukan CSR untuk mendapatkan dan mengharapkan akseptasi atau mengompensasi ketidak-setujuan masyarakat.

Keempat, umumnya program CSR/Comdev dibungkus sedemikian rupa sebagai alat untuk memperbaiki citra perusahaan di mata masyarakat internasional dan bisnis, untuk kemudian memenangkan kontestasi pemasaran. Dengan CSR, mereka merasa telah berbudi luhur mengulurkan tangan kepada masyarakat sekitar.

Kelima, sejauh ini, seperti yang dilakukan Indorayon/TPL, program-program CSR disusun dan diimplementasikan secara elitis, tidak partisipatoris. Lebih lanjut, besaran dana yang dialokasikan semata-mata berdasarkan ‘kerelaan’ korporasi, bukan atas dasar negosiasi atau kesepakatan dengan stakeholders. Hal ini disebabkan regulasi yang tidak jelas (berkaitan dengan ideologi negara) dan lemahnya posisi tawar stakeholders terutama masyarakat akar rumput.

Keenam, seringkali program CSR dilakukan untuk memback-up operasi perusahaan itu sendiri. Contohnya, korporasi membangun jalan, jembatan, dan infrastruktur lain, yang dikampanyekan sebagai bagian dari kepedulian untuk membuka isolasi desa-desa tertentu, padahal untuk kelancaran transportasi proyek. Termasuk, misalnya, kemitraan dengan mengikut-sertakan pengusaha sub-kontrak, tetapi di baliknya bersembunyi kepentingan untuk membangun ‘koalisi’ menghadapi perlawanan masyarakat. Ini, misalnya, dilakukan sangat cantik oleh Indorayon/TPL menghadapi perlawanan masyarakat Tapanuli.

Sikap terhadap CSR

Kalau demikian halnya, apakah CSR harus ditolak mengingat praktik-praktiknya sekadar kosmetik dan tidak berdampak terhadap kemaslahatan masyarakat sekitar? Bagaimana sikap kita terhadap CSR?

Pertanyaan ini bisa dijawab secara ideologis dan pragmatis. Bagi kaum kiri, misalnya, jawabannya sudah jelas: Tolak! Bagi mereka, ekspansi industri kapitalistik adalah sesuatu yang harus dihempang, termasuk segala tetek-bengek CSR/comdev. Yang perlu dimajukan adalah nasionalisasi atau pemajuan perusahaan-perusahaan negara (state enterprises), seperti Bolivia di bawah kepemimpinan Evo Morales. Untuk ini, dibutuhkan pemimpin yang tangguh dan gerakan sosial yang kuat.

Akan tetapi, menolak CSR dalam rezim ekonomi global yang kini sudah dikuasai oleh kejayaan korporasi—di mana kekuatan negara sudah dikebiri, dengan sadar atau tidak akan bertemu dengan kepentingan korporasi atau kapitalis itu sendiri, yang sesungguhnya secara alamiah menghindari segala bentuk regulasi dan kewajiban-kewajiban sosial. Seperti kita tahu bersama, mereka meyakini “CSR is bad capitalism” atau apa yang pernah dikumandangkan Milton Friedman (1962), Dalam hal ini, golongan kiri dan kanan akan bertemu pada satu kepentingan, walau berangkat dari titik yang berbeda.

Karena itu barangkali—inilah posisi pragmatis dan ‘aman’ yang dipilih negara-negara berkembang dan negara maju welfare state, CSR diregulasi secara bertahap pada garis kontinum ‘voluntary’ dan ‘obligatory’. Mereka tidak memilih sikap frontal terhadap korporasi, tetapi mengatur secara bertahap sambil melakukan negoisasi. Singkatnya, mereka menerima sambil memperbaiki kelembagaan. Secara ideologis, hal ini dipandang kurang radikal.

Di Indonesia, misalnya, CSR/comdev telah di atur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mengikat perusahaan negara dan korporasi swasta seperti UU 19/2003 tentang BUMN, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Namun, beberapa UU ini belum mengatur secara jelas sejauhmana kewajiban CSR ini harus dilakukan. Apalagi, penegakan hukum yang ada pun menjadi sesuatu yang sulit diharapkan.

Dengan demikian, konsep dan pelaksanaan CSR sangat tergantung pada sistem ekonomi-politik, bahkan ideologi. Ideologi membentuk sistem ekonomi-politik. Dengan demikian, pilihan ideologi mengarahkan kita pada pilihan bentuk, isi, kelembagaan CSR.

Tentang KSPPM

Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) didirikan 23 Februari 1983, merupakan lembaga yang peduli pada masalah hak-hak asasi petani, pengembangan prakarsa masyarakat, lingkungan, dan hak asasi manusia. Pendirian lembaga yang diinisiasi sekelompok agamawan, cendekiawan, dan aktivis pro-demokrasi, ini adalah untuk merespons terjadinya pemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, dan pembangunanisme (developmentalisme) yang berlangsung sejak dekade 1970-an di Sumatera Utara, khususnya di kawasan Tapanuli.

KSPPM adalah organisasi non-pemerintah yang berlokasi di Parapat dan 4 wilayah pendampingan yakni wilayah Humbang-Silindung (meliputi Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan), Wilayah Toba (Kabupaten Toba Samosir); Wilayah Samosir (Kabupaten Samosir dan sekitarnya); dan Wilayah Dairi (Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat). Lembaga ini melakukan kerja-kerja studi dan riset, pengorganisasian, pendidikan populer, dan advokasi untuk mendampingi dan melayani petani.

2 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

terlalu dia... memang kita ini bangsa yang mudah dibodohi dengan CSR para perusak lingkungan. yang sepertinya bodoh itu para pejabat yang melenggangkan perusak lingkungan tanpa melakukan pengembalian yang sempurna... dan juga pendapatan yang diterima tidak sebanding dengan kerusakan alam yang diterima

3 Januari 2009 pukul 02.29

 
Anonymous Anonim mengatakan...

Ulasan yang lugas.

Ayo sudah waktunya masyarakat harus bisa mensiasati, bagaimana CSR bisa kita terima untuk keuntungan kita jangka pendeknya, namun tidak terpengaruh 'jilatan' korporat perusak bejat itu untuk jangka panjangnya.

28 Maret 2009 pukul 02.21

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda