Bersama Kita Membangun Bonapasogit

Minggu, 27 April 2008

Memaknai Paskah: Tiga Langkah Strategis

HARI-hari raya keagamaan hampir senantiasa menjadi kesempatan amat berharga untuk merenung ulang makna hakiki dari hari-hari raya tersebut. Ia akan terjatuh menjadi sebuah seremoni dan selebrasi tanpa makna andai kata peringatan itu kurang memberi ruang bagi refleksi untuk menelusuri dimensi substansial dari hari raya keagamaan. Bahkan, nilai-nilai sakral dan transendentalnya dapat tereduksi jika pemaknaan kontemporer dari hari raya itu tidak mendapat tempat.


April ini, umat Kristiani memperingati Hari Jumat Agung (kematian Yesus Kristus di kayu salib) dan Hari Paskah (kebangkitan Yesus Kristus dari kematian). Umat Kristiani terpanggil untuk terus-menerus berupaya mencari pemaknaan kontekstual bagi perayaan Paskah di tengah situasi bangsa dan negara seperti sekarang ini. Tatkala negara kesatuan dibayangi perpecahan, ketika konflik bernuansa SARA dijadikan amunisi bagi pertikaian kaum politisi, pada saat kehidupan menjadi kian getir, pedih, dan keras karena situasi ekonomi yang mencekik kehidupan manusia; bagaimana gereja-gereja berkiprah merespons kondisi seperti ini?

Dalam perspektif pemahaman Kristiani, kebangkitan Yesus Kristus pada Hari Paskah adalah tanda yang menunjuk betapa kuatnya kuasa Allah yang berhasil membebaskan manusia dari belenggu dosa, cengkeraman kematian, penjara kekerdilan, sehingga menjadi ciptaan baru, manusia baru. Jalan yang ditempuh Yesus adalah jalan pengorbanan, demi terwujudnya rekonsiliasi manusia dengan manusia, manusia dengan Allah.

Yesus menolak jalan kekerasan dalam mewujudkan cita-cita yang luhur. Ia meminta murid-murid-Nya tidak menggunakan pedang terhadap kelompok-kelompok yang kontra-Yesus. Jalan salib, jalan penderitaan, jalan pengorbanan, jalan kerendahan, jalan kehambaan, adalah jalan yang Yesus pilih secara sadar agar manusia dibebaskan dan diselamatkan. Hari Paskah (dari kata Ibrani pesakh = melewati) adalah hari raya keagamaan Kristiani yang amat sentral dan fundamental.

Alkitab menegaskan, ''Andai kata Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah kepercayaan kamu.'' Jika Kristus dikalahkan kematian, jika ia dipenjara dan dibelenggu oleh kematian, maka kekristenan adalah suatu ilusi dan omong kosong. Kematian Yesus adalah kematian yang menghidupkan. Menghidupkan manusia memberi pengharapan baru bagi manusia, dan sekaligus antisipasi dari kebangkitan umat manusia di masa depan. Peristiwa Jumat Agung dan Paskah adalah pilar-pilar yang kukuh, yang di atasnya konstruksi kekristenan dibangun dan didirikan.

Gereja-gereja dan umat Kristen Indonesia harus mampu memainkan peran signifikan dan kontributif bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan realitas seperti itu, beberapa langkah strategis harus dikedepankan oleh gereja-gereja.

Pertama, gereja-gereja perlu mengembangkan teologi kemajemukan, teologi yang memberi tempat dan ruang bagi kemajemukan denominasi gereja, kemajemukan agama-agama; terbuka terhadap peran generasi muda, wanita, serta kelompok profesional yang ada dalam masyarakat. Gereja juga dituntut mengelola organisasinya dengan manajemen profesional, didukung SDM berkualitas sesuai dengan kompetisi yang dibutuhkan sebagai gereja di dunia modern. Gereja harus menjadi penuntun umat dalam mengembangkan sikap inklusif, sikap Hamba dan Pelayan yang antikekerasan dan anarkisme.

Kedua, gereja-gereja harus memiliki visi teologis dan wawasan kebangsaan yang kukuh, sebagai teologi yang dirakit dari bumi Indonesia yang pluralis, bukan teologi Barat yang superior, yang menafikan realitas empirik bumi Nusantara. Teologi seperti ini amat memperhitungkan kejelataan, apresiatif pada keragaman kultural, memberi ruang bagi interaksi dengan berbagai potensi strategis dalam masyarakat, memberi tempat pada pengembangan dialog dan kerja sama dengan berbagai agama dan kepercayaan. Harus mendorong gereja menjadi nabi pada zamannya; yang mampu bersikap kritis terhadap penyalahgunaan dan penggumpalan kekuasaan, terhadap pelanggaran HAM, terhadap pengerdilan harkat dan martabat manusia, terhadap diskriminasi wanita dan kekerasan anak; terhadap politisasi agama dan pelecehan agama.

Ketiga, gereja-gereja harus memosisikan diri sebagai institusi yang nonpartisan dan berdimensi universal. Artinya, gereja tidak boleh menjadi sebuah lembaga yang menyuarakan segelintir elite kepemimpinan, teralienasi dari dinamika umat di arus bawah, apalagi yang menjadi instrumen dari suatu kekuatan parpol. Gereja harus benar-benar berada dalam kendali kuasa transenden, kuasa Ilahi, sebab itu ia juga mengatasi tembok-tembok geografis kepemerintahan, dan menjadi gereja yang berdimensi universal dan mondial.

Dalam konteks itu, gereja-gereja di Indonesia harus merekonstruksi ulang pemikiran teologinya, mendesain program pelayanannya dengan tidak menafikan kenyataan empirik, melakukan repositioning dalam upaya mewujudkan kinerja yang proaktif dan responsif di tengah perubahan global yang sedang terjadi. Dengan demikian, gereja terhindar untuk menjadi fosil di tengah sejarah, bahkan presensianya memberi makna substantif bagi umat manusia, bangsa, negara, bagi zamannya. Tatkala fajar Paskah merekah, gereja-gereja di Indonesia harus bangkit dari sikapnya yang introver dan eksklusif menjadi gereja yang membumi di Indonesia .

[Weinata Sairin, Teolog, Sekretaris Umum Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia]
[Gatra Nomor 22 Beredar 16 April 2001]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda