Bersama Kita Membangun Bonapasogit

Rabu, 18 Juni 2008

Menilik Akurasi AMDAL PLTP Sarulla

Menilik Akurasi AMDAL PLTP Sarulla
Catatan : M.Simamora
(Wartawan Nasional Pos Taput)

Perjanjian bilateral Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) resmi ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Salah satu isinya adalah rencana pelaksanaan proyek PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/Geothermal) Sarulla dengan kapasitas 330 MW senilai US$ 600 juta.

Semula, proyek ini sudah digarap PT Union Oil California (Unocal North Sumatera Geothermal) dengan kontrak operasi bersama PT Pertamina dan PT PLN. Namun setelah September 1994 sempat eksplorasi dengan 9 buah sumur, namun proyek ini terhenti.

Proyek itu dibeli kembali oleh pihak PLN pada 2003 dan dilelang kembali. Konsorsium PT Medco Energi Internasional (62,5%) Itochu Corp. Jepang (25%) dan Ormat Technologies, Inc. AS (12,5%), akhirnya memenangkan proyek PLTP Sarulla dengan harga jual listrik ke PT PLN sebesar US$0,0468 per kWh. Penetapan konsorsium Medco, Ormat, dan Itochu tersebut tertuang dalam letter of intent (LoI) yang ditandatangani 25 Juli 2005. Selanjutnya, LoI tersebut akan dimatangkan menjadi kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) selama 30 tahun sesuai dengan keputusan Kementerian Negara BUMN, (27/11/06).

Dari pengalaman kejadian pada proyek-proyek geothermal di Indonesia bahwa Akurasi Penilaian dan pengawasan Amdal terhadap pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan dari proyek geothermal oleh pihak pemerintah maupun pihak investor masih lemah. Sehingga timbullah berbagai bencana dan masyarakat yang menjadi korban. Persoalannya adalah apakah hasil penelitian Amdal atas PLTP Sarulla bisa dipertanggungjawabkan dan sudah benar- Benar matang ???

Seperti contoh kasus yang terjadi pada proyek PLTP Dieng-Bedugul di Bali. Pada 30 Juni 2007 lalu, salah satu pipa PLTP Dieng di Desa Karangtengah, meledak mengakibatkan 17 orang mengalami luka bakar serius, dan warga sekitar mengalami gangguan sesak napas. Manajer Pelayanan Umum PT Geodipa Energy Dieng Agus Purnomo mengatakan bahwa pipa dengan diameter 36 cm yang berisi air mendidih dengan suhu sekitar 100 derajat Celsius meledak begitu saja.

Hutan di Dieng yang dulunya lebat, kini gundul setelah geothermal beroperasi lebih dari 20 tahun. Selanjutnya hutan gundul itu oleh penduduk ditanami kentang dan sayuran. Pada musim hujan, areal tanaman kentang di daerah perbukitan itu rawan longsor.


Pansus DPRD Bali mengakui, proyek geothermal Dieng yang beroperasi sejak 1974 menghasilkan panas bumi untuk listrik. Tetapi ada fakta hutan gundul dan tiga danau mengering. Mereka tidak menginginkan danau di Bedugul kering lantaran geothermal.

Pengalaman ini dapat dikaji guna mengambil langkah antisipasi dampak negatif (AMDAL) penting yang dapat ditimbulkan dari kegiatan pembangunan PLTP Sarulla, antara lain menurunnya kualitas udara, meningkatnya bising dan getaran, menurunnya sifat fisik dan kimia tanah, menurunnya stabilitas tanah, meningkatnya erosi dan sedimentasi, dan terjadinya bahaya longsoran. Di samping itu, terjadinya bahaya amblesan, menurunnya potensi dan kualitas air danau, air tanah, dan mata air, terjadinya perubahan tata guna lahan dan hutan, menurunnya kelimpahan dan keanekaragaman flora dan fauna, dan menurunnya nilai kesakralan kawasan hulu juga dianggap merupakan dampak negatif penting yang mesti ditanggulangi. Dampak negatif lainnya adalah timbulnya keresahan masyarakat, gangguan kamtibmas, menurunnya kesehatan masyarakat, kecelakaan kerja, dan gangguan transportasi.

Dari berbagai dampak negatif yang dapat ditimbulkan, terdapat berbagai teknologi pengelolaan dampak lingkungan yang bisa digunakan. Sementara itu, terdapat 2 jenis dampak yang sulit dikelola yaitu terjadinya amblesan dan menurunnya kelimpahan dan keanekaragaman flora. Di sisi lain, dampak negatif yang jumlahnya mencapai 15 item masih bisa dikendalikan melalui upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Misalnya saja untuk mengatasi penurunan kualitas udara akibat gas H2S (belerang), peralatan separator, scrubber (alat pemurnian uap), dan turbin steam exhaust dapat diefektifkan.

Memang positifnya terdapat tiga dampak penting yang bisa diperoleh melalui pembangunan PLTP ini. Yakni meningkatnya pendapatan pemerintah, timbulnya peluang kerja, dan berkembangnya ekonomi baru. Dilihat dari sisi pendapatan pemerintah daerah dan pusat, akan banyak pemasukan berupa pajak maupun penerimaan negara yang berasal dari pertambangan panas bumi bisa diperoleh. Sedangkan dilihat dari peluang kerja, terbuka kesempatan kerja bagi sekitar 800 - 1.000 orang pada konstruksi dan sekitar 500 orang pada tahap operasional. Selain itu adanya PLTP ini juga akan meningkatkan keandalan listrik di Sumatera Utara karena kapasitas PLTP ini cukup besar, yaitu 330 MW.

Dengan demikian dalam AMDAL PLTP Sarulla harus benar-benar serius dipertimbangkan baik oleh pemerintah, swasta (investor) dan masyarakat dengan serius. Hal yang perlu pertimbangan dalam mengakurasir Amdal PLTP Sarulla diantaranya yakni :

1. Partisipasi masyarakat. Salah satu prasyarat utama dalam mewujudkan partisipasi itu adalah adanya keterbukaan dan transparansi. Unsur utama yang memungkinkan partisipasi dapat terjadi, yakni Hak untuk mengetahui, Hak untuk memikirkan, Hak untuk menyatakan pendapat, Hak untuk mempengaruhi pengambilan keputusan, Hak untuk mengawasi pelaksanaan keputusan.

2. Mengubah paradigma klasik dimana Pemerintah maupun swasta (investor) menggunakan pola partisipasi semu dengan memobilisasi masyarakat untuk menjetujui tanpa terlebih dahulu ada informasi yang benar dan faktual kepada publik.
Jadi, setiap kebijakan negara baik yang dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah haruslah melalui sebuah mekanisme yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Yang perlu dicermati adalah bahwa partisipasi tersebut tidak dapat timbul hanya karena adanya elemen masyarakat yang dimobilisasi dan tercatat di daftar hadir sehingga membuat penguasa mengklaim telah mendapatkan legitimasi untuk mengeluarkan sebuah keputusan.

Proyek PLTP Sarulla memang sudah mendapat dukungan dari pemerintah RI dan Jepang. Kita jangan hanya melihat keuntungan pendapatan daerah, namun juga segi keberlanjutan lingkungan hidup patut menjadi perhatian. Pihak yang langsung berhadapan dengan segala resikonya adalah masyarakat di sekitar Sarulla. Belajar dari Bali , masyarakat dan pemerintah Taput sebaiknya juga benar-benar memahami imbas proyek geothermal pada hajat hidup orang banyak.

Dalam hal ini Studi banding penting dilakukan oleh Pemkab Taput pada proyek-proyek geothermal yang telah terlaksana di Indonesia, mencermati dampaknya hingga 30 tahun mendatang. Semua pihak yang peduli pada keberlangsungan alam dan lingkungan hidup di Taput agar melakukan kajian yang komprehensif untuk memahami makhluk seperti apa PLTP Sarulla. Masyarakat harus mengetahui dampak positif dan negatif dari proyek ini, dan mengambil sikap untuk menyelamatkan Bonapasogit.
(Berbagai Referensi)

Sabtu, 14 Juni 2008

Pengaduan Kasus Korupsi ke KPK

Sumut Masuk Tiga Besar

* Pengaduan Kasus Korupsi ke KPK

MEDAN (SINDO) – Daerah Sumatera Utara (Sumut) masuk peringkat ketiga di Indonesia dalam daftar pengaduan masyarakat terkait kasus korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Dalam kurun 5 tahun belakangan, KPK menerima 2.290 pengaduan korupsi dari masyarakat Sumut.

"Kami menerima cukup banyak pengaduan korupsi dari masyarakat Sumut. Jumlahnya bahkan mencapai 9 persen dari keseluruhan pengaduan masyarakat se-Indonesia ke KPK," tukas Haryono Umar, Wakil Ketua KPK Bidang Pengawasan dan Pencegahan, kepada SINDO seusai workshop peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang digelar di Hotel Garuda Medan, kemarin.

Lebih jauh dipaparkan Haryono, Medan menjadi daerah terbanyak di Sumut dalam pengaduan kasus korupsi dengan jumlah pengaduan sebanyak 886 kasus. Disusul Nias dan Asahan dengan jumlah pengaduan 143 kasus dan 140 kasus.

Sedangkan jumlah paling sedikit datang dari Lubukpakam dan Tarutung. Hanya, KPK memisahkan pengaduan dari Lubukpakam dan Deliserdang. Begitu juga Tarutung dan Tapanuli Utara. (lengkapnya lihat grafis)

Namun, lanjut Haryono, dari 2.290 pengaduan masyarakat Sumut itu, 70 persen tidak dapat ditindaklanjuti. Alasannya, ada kasus yang diadukan memang tidak terkait dengan korupsi. "Ada yang mengadukan persoalan lain yang tidak ada kaitannya dengan korupsi. Namun, ini jumlah tidak terlalu banyak," jelas Haryono.

Jumlah terbanyak penyebab KPK tidak bisa melanjutkan pengaduan masyarakat Sumut itu, beber Haryono, justru tidak dicantumkannya identitas pengirim dan ketidakjelasan dalam objek pengaduan. "Kalau identitas pengadu tidak jelas, kami susah untuk menindaklanjutinya. Apalagi kalau objek yang diadukan tidak disebutkan," tukasnya.

Karena itu, dia mengingatkan, agar masyarakat yang membuat pengaduan korupsi ini mencantumkan dengan jelas identitas dirinya dan objek yang diadukan. Jika itu terpenuhi, KPK berjanji akan melakukan pengusutan. "Jangan takut mencantumkan identitas diri pelapor. Karena KPK menjamin kerahasiaannya. KPK berjanji akan melakukan pengusutan," ujar pria berkulit putih ini.

Ditegaskan Haryono, KPK tidak akan bisa berbuat banyak tanpa bantuan informasi dari masyarakat. Sebab, keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi ini dijamin dalam peraturan perundang-undangan. "Peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi tertuang dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan Pemberantasan Korupsi," pungkasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut Elfenda Ananda menegaskan, banyaknya pengaduan masyarakat Sumut ke KPK, merupakan tamparan keras bagi aparat penegak hukum di daerah ini. "Itu mengindikasikan semakin lemahnya kepercayaan publik di Sumut terhadap aparat hukum di daerah ini. Makanya, mereka lebih percaya mengadukan kasus korupsi ke KPK ketimbang ke kejaksaan atau polisi," jelas Elfenda.

Elfenda menambahkan, seharusnya fakta yang dibeber KPK menjadi cambuk bagi aparat penegak hukum di daerah ini untuk lebih serius dalam memberantas korupsi. "PR besar bagi kejaksaan atau polisi untuk memulihkan kepercayaan publik. Caranya sebenarnya tidak susah, penegak hukum di daerah ini harus membuang dulu stigma 'ATM' berjalan dalam pengusutan kasus korupsi," cetus pria yang juga menjabat Sekretaris Lembaga Survey Indonesia (LSI) ini.

Pun begitu, Fitra mendesak KPK agar merespon secepatnya pengaduan dari masyarakat Sumut itu. Sehingga, kepercayaan yang demikian besar terhadap KPK bisa dijawab. "Begitu besarnya harapan masyarakat terhadap KPK. Maka itu, kita meminta agar ada respon dari KPK menindaklanjuti pengaduan itu, apalagi pengaduan yang sudah memenuhi syarat," tandasnya.

Selain KPK, workshop kemarin diikuti oleh beberapa LSM di wilayah Medan dan sekitarnya. Tak kurang dari 60 orang menghadiri acara tersebut. Tampil sebagai pembicara pertama adalah Wakil Ketua KPK Haryono Umar. Kemudian dilanjutkan oleh Adnan Topan Husodo, perwakilan dari Indonesian Corruption Watch (ICW).

Adnan menyampaikan materi tentang cara-cara memperoleh informasi dan data terkait dugaan korupsi. Sedangkan materi terakhir disampaikan oleh fungsional dari Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK yang membeber soal studi kasus dan diskusi pemberantasan korupsi.

Grafis

Jumlah Pengaduan Korupsi Sumut ke KPK 2004-2008

Daerah Jumlah Pengaduan

Asahan 140

Binjai 38

Dairi 31

Deliserdang 105

Humbang Hasundutan 11

Karo 31

Labuhanbatu 59

Langkat 57

Lubukpakam 2

Mandailing Natal 63

Medan 886

Nias 143

Nias Selatan 20

Padangsidimpuan 23

Pakpak Bharat 5

Pematangsiantar 93

Samosir 3

Sibolga 46

Simalungun 103

Tanjung Balai 28

Tapanuli 3

Tapanuli Selatan 43

Tapanuli Tengah 43

Tapanuli Utara 32

Tarutung 2

Tebing Tinggi 75

Toba Samosir 95

· Sumber : Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK

· Sumber : SINDO

Senin, 09 Juni 2008

"Haram" Hukumnya Menerima CSR dari Korporat Yang Merusak Lingkungan dan Melanggar Hak Asasi Manusia


Seperti biasa, setiap Rabu, para petani dari berbagai kelompok dan desa di wilayah Toba Samosir berkumpul dan berdiskusi di Sopo (kantor) KSPPM wilayah Porsea, setelah atau sebelum masing-masing mereka sibuk berjualan dan berbelanja.

Pada suatu Rabu di pertengahan tahun 2004, kegaduhan terjadi. Diskusi yang biasanya berlangsung akrab dan penuh keakraban, berubah menegangkan. Ketika itu, muncul berita yang sangat sensitif bagi semuanya: anggota CU Sepakat Jaya, Dolok Martali-tali menerima pupuk dari Indorayon, alias PT TPL.

Beberapa anggota kelompok Sepakat Jaya yang hadir ketika itu ‘disidang’. Mereka dimintai pertanggung-jawaban, kenapa setiap mereka mau menerima 2 zak pupuk dari program community development (CD/comdev) Indorayon. Semua berang. Termasuk staf KSPPM yang hadir pada saat itu. “Masak harga diri kalian bisa dibeli dengan pupuk yang seutil itu?” demikian kira-kira gugatan dan umpatan mereka.

Agak ironis, memang, karena kelompok ini sebenarnya adalah ‘buha baju’ (anak pertama)—kalau bisa diistilahkan demikian—atau kelompok generasi pertama ‘dampingan’ KSPPM. Embrionya sudah terbentuk sejak kasus perlawanan terhadap konstruksi/operasi PT Inalum, proyek berjudul Asahan II, di DAS Asahan, pertengahan 1980-an. Ini jugalah, antara lain, faktor yang membuat anggota kelompok-kelompok lain—sebagai ‘saudara seperguruan’—terpukul. Bagai di dalam alam pikiran setengah sadar.

Singkat cerita, akhirnya kelompok Sepakat Jaya dikeluarkan dari keanggotaan “Forum Tani Rakyat Toba (Fortaba)”—organisasi yang mewadahi semua kelompok dampingan KSPPM di wilayah Toba Samosir hingga saat ini, walaupun mereka mengaku menerima pupuk itu karena ‘tertipu’ oleh distributornya, aparat desa dan kecamatan, yang mengaku sumbernya dari pemerintah daerah. Ringkasnya, mereka tidak dimaafkan. Bahkan, kemudian staff KSPPM pun mengakhiri ‘pendampingan’ ke kelompok itu.

Peristiwa serupa juga terjadi kemudian, seperti di kelompok credit union (CU) Jonggi Manulus, baru-baru ini. Tiga anggota kelompok dikelurkan karena menerima bantuan serupa. Alasan pemecatan itu juga tidak berbeda: kesepakatan Fortaba, yang kemudian dikuatkan dengan surat kesepakatan bersama pada tahun 2007, yang intinya adalah ‘haram’ menerima bantuan Indorayon.Mengapa bisa demikian? Menjawab pertanyaan ini

butuh waktu yang panjang. Ringkasnya, masyarakat—khususnya anggota Fortaba—belum bisa menerima reoperasi Indorayon/TPL dan dosa-dosanya di masa lalu. Bagi mereka, program-program comdev Indorayon hanya ‘manis di bibir’, sebagai upaya untuk melemahkan perlawanan atau ‘uang tutup mulut’. Karena terbukti kemudian, di mana sebagian warga di luar Fortaba juga sudah menerima program-program comdev ini (pupuk, bibit tanaman, ternak, dll), barangkali menjadi salah satu penjelasan kenapa perlawanan terhadap Indorayon melemah belakangan ini. Walaupun, tidak bisa juga dikatakan, perlawanan itu sudah berakhir.

Sebagian masyarakat Toba Samosir juga menyadari bahwa latar belakang munculnya program comdev ini, bukanlah didasari atas kesaradaran akan tanggung jawab sosial atau niat baik Indorayon sejak awal. Jika sekarang mereka getol mengampanyekan paradigma baru, salah satu di dalamnya program CSR/comdev, adalah dalam kaitan menyukseskan reoperasi yang gigih diupayakan sejak pabriknya ditutup sekitar 4 tahun (1998-2002) karena perlawanan masyarakat.

Bukan hanya comdev, pada masa atau situasi keterdesakan itu, bahkan, mereka pun bersedia melakukan berbagai cara yang barangkali bisa dikategorikan sebagai penyuapan. Ini sangat kontras dengan ketidak-acuhan dan kekebalan mereka pada tuntutan masyarakat sekitar di masa pra-reformasi, ketika misalnya ratusan penduduk menuntut penggantian atap rumah atau ganti rugi tanaman akibat hujan asam yang diduga diakibatkan operasi Indorayon. Dengan kata lain, kelahiran comdev/CSR adalah berkat perlawanan masyarakat seiring dengan berlangsungnya gerakan reformasi di Tanah Air.

CSR, Kerusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM

Ketika saat ini Indorayon/TPL sedang mengumbar paradigma baru, justru pada saat bersamaan mereka melakukan perusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia. Di Pollung, Humbang Hasundutan, mereka menebangi pohon kemenyan rakyat dan menguasai lahan atas nama konsesi yang mereka peroleh dari pemerintah. Ketika masyarakat melakukan perlawanan, perusahaan ini selalu menghadapinya dengan aparat sipil dan polisi/TNI, elite politik, pengusaha lokal, politisi, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Tidak cukup hanya menggunduli kemenyan, perusahaan milik Sukanto Tanoto ini juga membuang limbah B3 di tempat-tempat curaman dan daerah aliran sungai, yang mencemari Sungai Ronuan di Tele, yang digunakan penduduk untuk MCK dan irigasi persawahan.

Di daerah tetangga, Dairi, khususnya di Sopo Komil juga demikian. Kehadiran PT Dairi Prima Minerals (1998) yang saat ini memasuki tahap konstruksi perumahan dan infrastruktur juga berdampak lingkungan dan sosial yang kompleks dan problematis. Pertama sekali, kehadiran perusahaan Australia ini menimbulkan keresahan sosial dan potensi konflik horisontal antara dua subetnis Batak di sana, karena saling klaim hak atas tanah. Marga-marga tertentu mengklaim tanah di sana sebagai hak ulayatnya dan membuat marga-marga lain merasa terancam di tanah yang sudah dikelola selama berpuluh tahun dan dimiliki sah secara adat pada masa lampau. Kemudian, ekplorasi yang mereka lakukan juga sudah merusak hutan dan, ironisnya, mereka kelak akan melakukan pembangunan pabrik dan eksploitasi hutan lindung Batu Ardan register 66.

Kenyataan serupa ini juga kita jumpai di hampir seluruh Tanah Air, di mana perusahaan-perusahaan nasional dan multinasional berada, antara lain, PT Freeport Indonesia di Papua, PT Kaltim Prima Coal (pertambangan terbesar batu bara) dan Unocal (minyak) di Kutai Timur, PT Caltex Pacific Indonesia (CPI), PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), dan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) di Riau, dan lain sebagainya. Pascareformasi, mereka semakin getol dan menggelontorkan dana CSR/comdev yang semakin besar dan melibatkan stakeholder yang semakin luas, tetapi di sisi lain tetap saja melakukan pengerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Di Kabupaten Fakfak, Papua, hadirnya PT Freeport Indonesia (1967) yang mengeruk kekayaan bumi (tembaga, emas, uranium) menimbulkan pelanggaran HAM, bukan saja hak-hak ekososbud, tetapi juga hak-hak sipol. Perusahaan pertambangan Amerika ini dengan leluasa mengeruk sumber daya alam dan merusak lingkungan, sedangkan masyarakat terutama suku asli, Amungme, hanya merasakan remah-remahnya dan terusir dari kampung halaman. Mereka tetap berkubang dalam lumpur kemiskinan dan ketertinggalan, sementara kekayaan alamnya dibawa terbang ke negeri Paman Sam. Tuntutan mereka agar mendapat bagian (shareholder) yang adil dari eksploitasi buminya, justeru dijawab dengan politik represi dan popor senapan. Bahkan, ketika mereka mencoba mengais sisa-sisa pertambangan itu di limbah tailing, mereka justeru harus berhadapan dengan pasukan militer yang dibayar untuk menjaga proyek.

Kehadiran PT Freeport yang diduga berhubungan erat dengan bantuan pemerintah AS dalam menumbangkan Orde Lama, juga berdampak buruk terhadap lingkungan. Setiap hari, perusahaan asing pertama di masa kekuasaan Soeharto ini membuang ratusan ribu ton limbah tailingnya ke sungai Ajkwa, mematikan ratusan hektar hutan alam, merembes dan merendam kebun-kebun nelayan Suku Komoro, bahkan menyebar hingga ke laut Arafuru. Aktivitas pertambangan ini juga menyisakan banyaknya lubang-lubang raksasa, yang akan menjadi danau-danau kecil dengan kadar keasaman tinggi.

Sekarang, kita beralih ke Kalimantan. Studi yang dilakukan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, menunjukkan, program CSR yang dilakukan PT Kaltim Prima Coal (pertambangan terbesar batu bara) dan Unocal (minyak) terkesan untuk menghindari konflik dengan masyarakat sekitar. Unocal yang sudah beroperasi sejak tahun 1970-an di daerah Marangkayu, Kutai Timur, baru menjalankan program comdev pada tahun 2002 setelah masyarakat melakukan protes dengan demonstrasi massal. Demonstrasi yang berlangsung dan sulit dikendalikan di sekitar lokasi pengolahan minyak memaksa Unocal untuk melakukan kegiatan-kegiatan filantropis dalam program comdev. Kehadiran Unocal sendiri telah membuat tambak dan lahan pertanian yang merupakan sumber pendapatan penting masyarakat tercemar minyak.

Mulyadi (2004), peneliti PSKK-UGM menyebutkan, walaupun sulit mengidentifikasi kapan perusahaan-perusahaan lain, seperti PT Kaltim Prima Coal (KPC), memulai program CSR. Namun, fakta menunjukkan bahwa mereka merealisasi program-program tersebut secara lebih intensif pada tahun-tahun setelah diberlakukannya otonomi daerah. Kebijakan yang telah memberi kebebasan yang lebih besar kepada masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya. Jeleknya lagi, dalam merealisasikan programnya, Unocal dan KPC menggandeng LSM bentukan pemerintah daerah, Kapital, yang tidak memiliki kapasitas dan sarat dengan kepentingan elite, korupsi, dan realisasi program yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat yang terkena dampak.

Sekarang menuju Riau. Masyarakat Duri yang hidup di daerah operasi CPI mengalami kerugian yang besar dalam bidang kesehatan dan ekonomi. Ekspansi perusahaan minyak terbesar yang berasal dari negeri yang mengaku sebagai kampiun demokrasi dan hak asasi manusia, Amerika Serikat, ini membuat jarak titik-titik pengeboran minyak dengan pemukiman penduduk hanya sekitar 200 meter. Akibatnya, sumur-sumur penduduk menjadi kering dan ketersediaan air minum menjadi kritis. Masyarakat kemudian harus membeli air untuk air minum. Begitu juga dengan usaha kolam ikan, menjadi terancam kekeringan dan menurunkan sumber pendapatan.

Kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak kalah dahsyat juga terjadi atas kehadiran pabrik pulp dan paper skala terbesar dunia di Riau. Kehadiran PT RAPP, saudara kandung Indorayon/TPL, beroperasi sejak tahun 1995 dan kini (sejak 2001) berkapasitas 2 juta ton per tahun (bandingkan dengan PT Toba Pulp Lestari berkapasitas 225.000 ton), juga menyisakan masalah dengan penduduk setempat. Setidaknya 40,000 hektar konsesi yang dimiliki perusahaan, di mana pabrik RAPP kini berada, diklaim penduduk desa Delik, Sering, dan Kerinci sebagai tanah milik mereka. Karena kasus ini beberapa orang penduduk desa dipenjarakan. Kasus serupa juga terjadi di desa Lubuk Jambi di mana sejumlah penduduk desa dilaporkan tertikam hingga meninggal selama protes pada 1998.

Untuk bisa memproduksi pulp sebesar 2.000.000 ton kertas sebanyak 350.000 ton pertahun, RAPP harus menebang kayu sebanyak 9.000.000 juta m3 pertahun. Untuk itu mereka harus memiliki hutan tanaman industri (HTI) minimal seluas 418,665 hektar untuk sekali rotasi (setiap enam tahun). Namun hingga Juni 2006, mereka menyatakan baru memiliki seluas 265.407 hektar, selain penguasaan lahan para mitranya seluas 651.539 hektar. Karena itu, permohonan konsesi baru untuk HTI di Provinsi Riau terus dilakukan. Keseluruhan konsesi yang diajukan merupakan kawasan yang masih berhutan, memiliki potensi kayu alam yang sangat kaya, bahkan merupakan kubah gambut sampai kedalaman 20 meter.

Ironisnya, baru-baru ini, Direktorat Pajak mengungkap dugaan penyelewengan pajak sebesar Rp. 1,3 triliun yang dilakukan Asian Agri, grup perusahaan yang di bawahnya terdiri dari belasan perusahaan (meliputi bisnis cokelat, karet, dan, terutama, kelapa sawit), salah satu anak perusahaan Grup Raja Garuda Mas milik Sukanto Tanoto, pengusaha yang pada tahun 2006 dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia. Akan tetapi, tidak lama kemudian, datang berita dari Ho Chi Minh, Vietnam, salah satu anak perusahaan yang telah mengukuhkannya sebagai industrialis global, RAPP, menerima penghargaan CSR AWARD for Excellency Poverty Alleviation dari Forum Asia.

Secara keseluruhan, industri pulp dan paper di Riau telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap hilangnya 3,7 juta hektar hutan alam Riau selama periode 1982-2005. Diakibatkan berdirinya industri-industri pulp dan paper tanpa didahului pembangunan HTI sebagai sumber bahan baku. Hal tersebut menimbulkan kesenjangan bahan baku sebesar 7.841.147,59 m3, di mana kapasitas total industri perkayuan mencapai 22.685.250 m3 pertahun, sedangkan kemampuan hutan alam untuk berproduksi secara lestari hanya sebesar 14.844.102,41 m3 per tahun.

Terakhir, adalah hasil penelitian terbaru yang dilakukan Walhi terhadap lima perusahaan nasional dan multinasional terhadap PT RAPP, PT DPM, PT Medco E & P Rimau, PT KPC, dan PT Newmont Nusa Tenggara, yang menyimpulkan, antara lain: pertama, konsep dan praktik CSR tidak berkontribusi secara memadai terhadap pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat yang hidup di sekitar kelima perusahaan tambang dan kayu tersebut. CSR digembar-gemborkan begitu rupa pada saat terjadi pelanggaran terhadap hak-hak ekososbud masyarakat dan ketentuan-ketentuan hukum lingkungan. Kedua, dengan menyerahkan urusan pemenuhan hak ekososbud pada korporasi-korporasi itu, pada saat yang sama negara telah melalaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati hak-hak ekososbud masyarakat. Singkatnya, program-program CSR kelima korporasi itu ditengarai sebagai sekadar cosmetic belaka.

Tambahan, di Bangka-Belitung, kehadiran PN Timah yang memiliki dampak yang sangat besar terhadap lingkungan. Kehidupan di pabrik yang serba mewah dan bergaya kolonial sangat kontras dengan kehidupan masyarakat sekitar yang hidup dalam kemiskinan, baik dalam ekonomi, akses pendidikan, dan gaya hidup. Sampai-sampai, keberadaan pabrik ini diumpamakan laksana the Tower of Babel. Hal inilah yang secara impresif dideskripsikan Andrea Hirata, dalam novelnya yang sangat terkenal berjudul Laskar Pelangi.

Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut: pertama, secara umum korporasi-korporasi di Indonesia, baik nasional dan multinasional, sudah mulai melaksanakan program CSR/Comdev, tetapi umumnya setelah mendapat protes atau perlawanan masyarakat sekitarnya.

Kedua, ketika korporasi-korporasi melaksanakan program CSR, pada saat yang sama mereka tidak mengubah karakter bisnisnya: masih merusak lingkungan dan menciderai hak asasi manusia, terutama hak ekososbud dan pada gilirannya menimbulkan pelanggaran hak-hak sipol. Seolah-olah dengan CSR, kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM terkompensasi.

Ketiga, pelaksanaan CSR sebagai upaya penjinakan perlawanan laten dan manifes. Banyak kasus menunjukkan, korporasi melakukan CSR untuk mendapatkan dan mengharapkan akseptasi atau mengompensasi ketidak-setujuan masyarakat.

Keempat, umumnya program CSR/Comdev dibungkus sedemikian rupa sebagai alat untuk memperbaiki citra perusahaan di mata masyarakat internasional dan bisnis, untuk kemudian memenangkan kontestasi pemasaran. Dengan CSR, mereka merasa telah berbudi luhur mengulurkan tangan kepada masyarakat sekitar.

Kelima, sejauh ini, seperti yang dilakukan Indorayon/TPL, program-program CSR disusun dan diimplementasikan secara elitis, tidak partisipatoris. Lebih lanjut, besaran dana yang dialokasikan semata-mata berdasarkan ‘kerelaan’ korporasi, bukan atas dasar negosiasi atau kesepakatan dengan stakeholders. Hal ini disebabkan regulasi yang tidak jelas (berkaitan dengan ideologi negara) dan lemahnya posisi tawar stakeholders terutama masyarakat akar rumput.

Keenam, seringkali program CSR dilakukan untuk memback-up operasi perusahaan itu sendiri. Contohnya, korporasi membangun jalan, jembatan, dan infrastruktur lain, yang dikampanyekan sebagai bagian dari kepedulian untuk membuka isolasi desa-desa tertentu, padahal untuk kelancaran transportasi proyek. Termasuk, misalnya, kemitraan dengan mengikut-sertakan pengusaha sub-kontrak, tetapi di baliknya bersembunyi kepentingan untuk membangun ‘koalisi’ menghadapi perlawanan masyarakat. Ini, misalnya, dilakukan sangat cantik oleh Indorayon/TPL menghadapi perlawanan masyarakat Tapanuli.

Sikap terhadap CSR

Kalau demikian halnya, apakah CSR harus ditolak mengingat praktik-praktiknya sekadar kosmetik dan tidak berdampak terhadap kemaslahatan masyarakat sekitar? Bagaimana sikap kita terhadap CSR?

Pertanyaan ini bisa dijawab secara ideologis dan pragmatis. Bagi kaum kiri, misalnya, jawabannya sudah jelas: Tolak! Bagi mereka, ekspansi industri kapitalistik adalah sesuatu yang harus dihempang, termasuk segala tetek-bengek CSR/comdev. Yang perlu dimajukan adalah nasionalisasi atau pemajuan perusahaan-perusahaan negara (state enterprises), seperti Bolivia di bawah kepemimpinan Evo Morales. Untuk ini, dibutuhkan pemimpin yang tangguh dan gerakan sosial yang kuat.

Akan tetapi, menolak CSR dalam rezim ekonomi global yang kini sudah dikuasai oleh kejayaan korporasi—di mana kekuatan negara sudah dikebiri, dengan sadar atau tidak akan bertemu dengan kepentingan korporasi atau kapitalis itu sendiri, yang sesungguhnya secara alamiah menghindari segala bentuk regulasi dan kewajiban-kewajiban sosial. Seperti kita tahu bersama, mereka meyakini “CSR is bad capitalism” atau apa yang pernah dikumandangkan Milton Friedman (1962), Dalam hal ini, golongan kiri dan kanan akan bertemu pada satu kepentingan, walau berangkat dari titik yang berbeda.

Karena itu barangkali—inilah posisi pragmatis dan ‘aman’ yang dipilih negara-negara berkembang dan negara maju welfare state, CSR diregulasi secara bertahap pada garis kontinum ‘voluntary’ dan ‘obligatory’. Mereka tidak memilih sikap frontal terhadap korporasi, tetapi mengatur secara bertahap sambil melakukan negoisasi. Singkatnya, mereka menerima sambil memperbaiki kelembagaan. Secara ideologis, hal ini dipandang kurang radikal.

Di Indonesia, misalnya, CSR/comdev telah di atur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mengikat perusahaan negara dan korporasi swasta seperti UU 19/2003 tentang BUMN, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Namun, beberapa UU ini belum mengatur secara jelas sejauhmana kewajiban CSR ini harus dilakukan. Apalagi, penegakan hukum yang ada pun menjadi sesuatu yang sulit diharapkan.

Dengan demikian, konsep dan pelaksanaan CSR sangat tergantung pada sistem ekonomi-politik, bahkan ideologi. Ideologi membentuk sistem ekonomi-politik. Dengan demikian, pilihan ideologi mengarahkan kita pada pilihan bentuk, isi, kelembagaan CSR.

Tentang KSPPM

Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) didirikan 23 Februari 1983, merupakan lembaga yang peduli pada masalah hak-hak asasi petani, pengembangan prakarsa masyarakat, lingkungan, dan hak asasi manusia. Pendirian lembaga yang diinisiasi sekelompok agamawan, cendekiawan, dan aktivis pro-demokrasi, ini adalah untuk merespons terjadinya pemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, dan pembangunanisme (developmentalisme) yang berlangsung sejak dekade 1970-an di Sumatera Utara, khususnya di kawasan Tapanuli.

KSPPM adalah organisasi non-pemerintah yang berlokasi di Parapat dan 4 wilayah pendampingan yakni wilayah Humbang-Silindung (meliputi Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan), Wilayah Toba (Kabupaten Toba Samosir); Wilayah Samosir (Kabupaten Samosir dan sekitarnya); dan Wilayah Dairi (Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat). Lembaga ini melakukan kerja-kerja studi dan riset, pengorganisasian, pendidikan populer, dan advokasi untuk mendampingi dan melayani petani.

Tim KPK “Tutup Mata” Soal Kasus Korupsi Di Taput

Seiring dengan kedatangan Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Sumatra Utara untuk mencek jumlah dugaan korupsi di Sumut yang dilaporkan masyarakat sekaligus melakukan supervisi mengenai proses pengusutannya, oleh masyarakat Tapanuli Utara ditanggapi hangat.

Berbagai pendapat, argumen dan komentar beragam bermunculan, dimana kedatangan Tim KPK menjadi topik utama yang diperbincangkan baik dikalangan politikus, warga sipil, pengamat pemerintahan di warung-warung kopi maupun di tempat-tempat keramaian. Pasalnya beberapa temuan dugaan kasus korupsi di Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) seolah mengendap.

Seperti dugaan korupsi bantuan tsunami Aceh bernilai puluhan miliar rupiah yang dikelola Kantor Pusat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Pearaja–Tarutung oleh Ephorus HKBP Dr Bonar Napitupulu. Selama tahun 2005 s/d 2006 telah menerima bantuan Rp 7.323.458.439.

Sedangkan Pokja Peduli Kasih HKBP dengan susunan pengurus (SK Ephorus HKBP NO 15/L.08/I/2005 tanggal 6 Januari 2005) dengan Ketua Ephorus HKBP Pdt. DR. Bonar Napitupulu sampai dengan tanggal 20 Juni 2007 telah menerima bantuan Rp3.469.071.286.

Berbagai penyimpangan berdasar laporan hasil badan audit HKBP No. 12/BA/VIII/HKBP/2007 tanggal 24 Agustus 2007. Disebutkan, pembentukan dan MoU Y. Peka atas nama HKBP namun seluruh pelaksanaan penyaluran dana melalui Y.Peka tidak diketahui dan dipertanggungjawabkan kepada pucuk pimpinan yaitu Ephorus HKBP. Terdapat pengeluaran peduli kasih kantor pusat HKBP Rp 614.677.000 belum dipertanggungjawabkan secara baik.

Terdapat penggunaan dana bencana alam yang tidak tepat sasaran Rp 664.098.250 dan dana tidak disalurkan Rp 394.130.263. Begitu juga menyangkut inventaris yang dibeli dari dana bantuan bencana alam Rp 60.026.500 namun tidak dijumpai barang sebesar Rp 26.572.000.

Ditambah tentang kasus dugaan korupsi di Dinas Koperasi dan UKM Taput soal bantuan sapi sebanyak 200 ekor senilai Rp 900.000.000 ke kelompok tani pada TA 2005 kini masih dipertanyakan sejauh mana penanganan raibnya sapi yang diberikan Menteri Sosial kepada Pemerintah Tapanuli Utara. Menurut sumber di Kecamatan Pangaribuan Taput, bahwa ternak sapi tersebut sudah tidak berada di tempat.

Pada TA 2006 adapula dianggarkan Pemda Taput melalui APBD untuk membuat kandang sapi tersebut dengan biaya sebesar Rp 246.000.000 yang dialokasikan di desa Lumban Sinaga kecamatan Pangaribuan. Menurut pantauan dilapangan pada tahun 2007 lalu, kandang –kandang sapi tersebut kondisinya telah rusak parah dan sapi-sapinyapun tidak ada di tempat.

Ada pula dugaan kasus korupsi dalam penjualan tanah kawasan hutan register-49 Dolok Tusam Barat, Desa Rahut Bosi Kecamatan Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara seluas 20 ha, yang dijual kepada oknum JS alias Chihok Con (52) selaku Direktur PT MMM Pematang Siantar dengan merekayasa sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Taput.

Kawasan itu dijual Nopember 2003. Dari hasil penyidikan masih ada beberapa kawasan hutan Register yang berlokasi di kecamatan lainnya yang dijual ke pengusaha. seputar adanya penjualan kawasan hutan Register-49 di beberapa tempat di Kabupaten Taput yang melibatkan sejumlah pejabat penting.

Pihak BPN pernah mengeluarkan surat jual beli hasil tanaman kemenyaan Dolok Tusam kepada oknum JS (Direktur PT MMM) Pematang Siantar, seharga Rp 4.500.000 untuk setiap orang. Dalam penyelidikan ternyata bukan menjual, maka diduga keras ada permainan oknum oknum pejabat di Taput.

Belum lagi hasil audit BPK RI Maret 2007 yang menemukan sembilan penyimpangan anggaran 2005 dan 2006 atas pelaksanaan Belanja Daerah Kabupaten Tapanuli Utara sebesar Rp 1.649.572.935,46 seolah mengendap.

Hasil audit BPK RI ini ditemukan pada TA 2005 Rp 447.150.000,00 dan TA 2006 Rp 1.202.422.935,46. Temuan tersebut digolongkan dalam penyimpangan kriteria atau peraturan yang telah ditetapkan sebanyak delapan penyimpangan dan satu penyimpangan yang mengganggu azas kehematan.

Dari sembilan temuan itu, delapan masalah penyimpangan terhadap kriteria yakni, belum dipertangungjawabkannya pengelolaan keuangan daerah yang tidak sesuai ketentuan dan terdapat panjar kerja sebesar Rp 744.343.352,00. Selain itu, tidak atau belum didukung bukti lengkap pengeluaran biaya penunjang operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepada Daerah senilai Rp 97.500.000,00.

Pengadaan sound system lapangan dan satu set alat band (Tahun Anggaran 2005) sebesar Rp 447.150.000,00 pada Sekretariat Daerah yang dilaksanakan denganpenunjukanlangsung(PL). Terjadi ketidak sesuaian jumlah yang diterima pada kontrak dan merugikan keuangan dalam pengadaan kursi plastik untuk Sekretariat Daerah sebesar Rp 28.875.000,00.

Tidak sesuai ketentuan untuk pengeluaran belanja modal Sekretariat Daerah sebesar Rp 231.850.000,00 dan terdapat duplikasi biaya pengukuran yang dimasukan dalam item pembayaran dalam kontrak sebesar Rp 13.630.638,98. Tidak sesuai ketentuan pada pelaksanaan proyek APBD untuk Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan Dinas Kimbangwil sebesar Rp 12.535.80,87 dan pelaksanaan kegiatan yang terlambat belum dikenakan denda Rp 24.886.470,00. Tidak sesuai dengan kontrak pada pelaksanaan proyek APBD untuk Dinas Pekerjaan UmumsenilaiRp17.642.334,61.

Sedangkan satu penyimpangan yang mengganggu azas kehematan, terdapat kelebihan pembayaran tunjangan perumahan untuk pimpinan dan anggota DPRD senilai Rp31.159.300,00. Atas pelaksanaan belanja anggaran 2005 pada realisasi belanja administrasi umum non pegawai, belanja operasional dan pemeliharaan serta belanja modal satuan kerja dilingkungan Pemkab Tapanuli Utara dibagi tiga cakupan pemeriksaan, yakni, anggaran belanja administrasi umum sebesar Rp139.188.957.672,81 terealisasi Rp134.763. 020.076,00 atau 96,82persen.

(Sumber berita/ Marihot Simamora/ Wartawan nasional Pos)

Kamis, 05 Juni 2008

Gempa Simangumban




Banjir Bandang di Desa Sibulan-bulan




Akibat Gempa di Desa Simangumban